AED.OR.ID – Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan inflasi tahunan akan tetap tinggi. Setidaknya sampai semester I 2023. Berkisar antara 5 persen sampai 6 persen secara year-on-year (YoY).
Selain inflasi, tarikan permintaan juga tengah membaik. Sejalan dengan pelonggaran pembatasan yang meningkatkan mobilitas masyarakat.
“Kami melihat bahwa dampak kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi pada 22 September 2022 lalu tidak hanya akan berdampak pada putaran pertama (tarif jasa transportasi). Tapi juga efek putaran kedua pada harga barang dan jasa lainnya, terutama melalui biaya jasa distribusi,” ucap Faisal kepada Jawa Pos, kemarin (1/11).
Artinya, inflasi utama dan inflasi inti dapat memanas secara signifikan untuk beberapa periode ke depan. Dia juga mengantisipasi dampak inflasi impor. Terkait depresiasi rupiah di tengah normalisasi moneter global yang agresif.
“Kami merevisi perkiraan nilai tukar rupiah menjadi Rp 15.186 per USD pada akhir tahun 2022,” ucapnya.
Secara keseluruhan, Faisal memproyeksi tingkat inflasi akan mencapai 6,27 persen di akhir tahun ini. Kemudian menurun ke 4,02 persen pada akhir 2023. Terlebih lagi, karena inflasi cukup lama berada di atas target. Selain itu, adanya tekanan yang lebih tinggi pada depresiasi rupiah.
“Kami memutuskan untuk merevisi perkiraan BI 7 day reverse repo rate (BI7DRRR) menjadi 5,50 persen pada akhir 2022 dan menjadi 5,75 persen pada akhir tahun depan,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, perlu ada perubahan asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Dinilai masih terlalu tinggi di tengah perburukan ekonomi global. Sehingga ada kemungkinan meleset.
Makanya perlu ada perhitungan ulang. Antara lain, inflasi. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah sepakat bahwa inflasi tahun depan berada di kisaran 3,3 persen sampai 3,6 persen secara tahunan. Namun, Bhima menilai, inflasi bisa lebih di 2023. Yakni di kisaran 5,5 persen hingga 6 persen secara year-on-year (YoY).
“Masih ada efek dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan ancaman krisis pangan yang berpotensi meningkatkan inflasi di 2023,” ucap Bhima.
Lalu, soal nilai tukar rupiah. Yang asumsinya akan bergerak di kisaran Rp 14.750 sampai Rp 14.800 per USD. Padahal, belakangan nilai tukar rupiah terdepresiasi. Bhima memperkirakan rupiah akan bergerak di sekitar Rp 15.600 hingga Rp 16 ribu per USD.
Selain itu, harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) juga perlu diubah. Dari yang ditetapkan USD 90 per barel menjadi di kisaran USD 60 sampai USD 70 per barel.
“Harga ICP bisa lebih rendah di tahun depan. Resesi global akan menurunkan permintaan bahan baku. Sehingga kebutuhan minyak pun akan melambat,” ungkap lulusan University Of Bradford itu.
Bhima menyangsikan realisasi investasi bisa mencapai Rp 1.000 triliun di 2023. Sebab, sudah memasuki musim tahun politik. Jelang 2024. Para investor biasanya justru wait and see untuk melakukan ekspansi. Karena stabilitas politik menjadi saah satu pertimbang penting.
Meski demikian, tahun-tahun politik berpotensi mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ditopang oleh konsumsi domestik. Sejalan dengan gelaran kampanye menuju pemilu 2024.
“Pertumbuhan ekonomi 2023 di kisaran 4,5 persen. Karena konsumsi dalam negeri besar,” jelasnya.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Agas Putra Hartanto
Sumber: www.jawapos.com