AED.OR.ID – Pertumbuhan ekonomi kuartal III yang mencapai 5,72 persen membawa berbagai optimisme. Terutama terkait dengan kondisi ekonomi hingga tahun depan.
Pelaku usaha menilai, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2022 sebesar 5,72 persen secara tahunan year-on-year (yoy) didukung kepercayaan diri konsumsi sepanjang periode tersebut. Padahal, kondisi ekonomi masih terdistorsi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan inflasi harga pangan.
“Karena itu, penciptaan stabilitas daya beli sangat krusial untuk menjaga momentum pertumbuhan hingga akhir tahun,” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani.
Pengusaha meyakini bahwa tantangan terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2022 adalah pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi yang baik. Sebab, lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi nasional didorong konsumsi domestik atau konsumsi rumah tangga.
“Inflasi yang semakin tinggi secara langsung akan menciptakan pertumbuhan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkapnya.
Apindo memperkirakan, pada kuartal IV 2022 efek kenaikan suku bunga Bank Indonesia sebesar 50 basis poin (bps) pada Oktober mulai terasa. Namun, dampak negatif kenaikan itu akan bisa diredam pemerintah.
“Dampak negatifnya terhadap investasi bisa di-counter kebijakan-kebijakan pendukung konsumsi seperti penerapan DP 0 persen untuk pembelian realestat atau kendaraan yang bisa menstimulasi konsumsi sehingga investasi tetap terpacu,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Shinta, dampak negatif bisa dihindari bila pemerintah menjaga momentum pertumbuhan sektor-sektor ekonomi seperti manufaktur, jasa/pariwisata, dan perdagangan yang biasa mengalami peningkatan produktivitas setiap kuartal IV.
Terpisah, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2022 dapat menjadi bekal yang cukup kuat untuk menghadapi potensi resesi global pada 2023. “OECD, IMF, EDB, dan World Bank memprediksi pertumbuhan ekonomi berkisar 4,8–5,1 persen. Artinya, beberapa lembaga juga sepakat bahwa Indonesia bisa menjadi the bright spot in the dark, jadi masih bisa keluar dari resesi tahun depan,” paparnya.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menuturkan, pihaknya melakukan berbagai upaya untuk menekan efek domino perlambatan ekonomi global, terutama pada sektor manufaktur RI.
Sejumlah strategi diterapkan agar perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya. Menurut Agus, barang larangan dan/atau pembatasan (lartas) dapat menjadi instrumen di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
“Di sektor tekstil, harus ada harmonisasi antara hulu, intermediate, dan hilir,” tuturnya.
Secara klasifikasi, Agus menjelaskan, sektor manufaktur nasional terbagi pada kelompok pertumbuhan tinggi, melambat, dan minus. “Industri yang tumbuh, tapi melambat jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya adalah industri makanan dan minuman. Tumbuh, tapi belum sesuai dengan harapan,” ujarnya.
Beberapa industri yang minus adalah industri kimia dan farmasi, bahan galian nonlogam, serta furnitur. Karena itu, pihaknya akan mencari pasar global baru yang potensial.
10 SEKTOR PENOPANG EKONOMI RI
Industri: 17,88 persen
Pertambangan: 13,47 persen
Pertanian: 12,91 persen
Perdagangan: 12,74 persen
Konstruksi: 9,45 persen
Transportasi dan pergudangan: 5,01 persen
Infokom: 4,01 persen
Jasa keuangan: 3,98 persen
Administrasi pemerintahan: 2,78 persen
Jasa pendidikan: 2,78 persen
Sumber: BPS
Editor : Estu Suryowati
Reporter : (dee/agf/c14/dio)
Sumber: www.jawapos.com