AED.OR.ID – Rencana Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Percepatan Swasembada Gula menuai kritik. Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menyebut rencana penerbitan perpres bukan bertujuan untuk swasembada tapi lebih ke stabilisasi harga.
“Ini bukan perpres swasembada tapi perpres stabilisasi harga karena disusun dengan rezim inflasi. Seakan-akan kenaikan harga itu menakutkan sehingga merasa perlu dikendalikan,” kata Herman dalam diskusi membedah Rancangan Perpres Percepatan Swasembada Gula di Jakarta,Rabu (26/10).
Menurutnya, bila memang mengacu pada tujuan mensejahterakan petani, maka seharusnya perpres itu menghilangkan hal-hal yang menghambat kesejahteraan petani seperti penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) atau pun pemberian subsidi pupuk bagi petani.
Namun yang ada dalam perpres itu malah nuansa monopoli pada penunjukan PTPN III sebagai pelaksana perluasan lahan dan juga masalah impor gula sebanyak 700 ribu ton.
Pakar pertanian IPB Andreas Dwi Santosa mengatakan bahwa masalah lahan merupakan hal yang sudah menjadi persoalan di sektor pertanian. Apalagi saat ini lahan pertanian tergerus. Oleh karena itu ia meragukan kemampuan dari PTPN untuk membuka 700 ribu lahan perkebunan gula baru.
“Saya setuju bila memang HET dicabut untuk memberi kesejahteraan petani. Tapi ini kan faktanya untuk soal pupuk juga tidak mendapatkan (pupuk bersubsidi), ” imbuhnya.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (BPN) I Gusti Ketut Astawa mengatakan bahwa sejatinya tujuan pemerintah adalah mensejahterakan petani. Bila ternyata rancangan perpres yang ada malah tidak mensejahterakan petani, sebaiknya seluruh pihak yang tidak setuju memberi masukan.
“Seperti soal pencabutan HET dan pemberian pupuk bersubsidi, silahkan saja disampaikan,” ujarnya.
Sekjen APTRI Nur Khaybsin saat pembukaan seminar mengatakan bahwa Swasembada gula sebenarnya sudah berkali-kali dicanangkan. Sejak masa Presiden SBY dimulai tahun 2008, kemudian berlanjut 2013 target swasembada gula meleset. Di era Pemerintahan Jokowi target swasembada gula tahun 2019 dan 2022 juga selalu meleset.
APTRI menilai program swasembada gula tidak pernah tercapai karena pemerintah sendiri tidak pernah serius menjalankan program swasembada.
Program swasembada gula sebenarnya terdistorsi (dihambat) sendiri oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani tebu dan industri gula nasional. Sebagai contoh adalah kebijakan Harga Pokok Pembelian (HPP) gula petani yang tak pernah naik antara tahun 2016 sampai 2022 yakni Rp 9.100 per kg. Baru awal giling tahun 2022 ini
“Apalagi dalam rancangan perpres itu rencana impor 700 ribu ton, ini membuat resah para petani. Sehingga kami mengharapkan adanya masukan bagaimana untuk membuat swasembada gula tercapai dan kesejahteraan pertani terwujud,” ujanya.
Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikun mengatakan swasembada seharusnya ditugaskan kepada seluruh stakeholder pergulaan nasional. Dari awal harus diajak berpikir bersama, merencanakan bersama, dan melaksanakan program secara bersama-sama serta saling menjaga agar swasembada gula nasional ini tidak ditumpangi kepentingan tersembunyi untuk keuntungan sepihak.
Editor : Mohamad Nur Asikin
Sumber: www.jawapos.com