99 Pasien Anak Meninggal, Terbanyak di Jawa Barat
AED.OR.ID – Angka kematian anak akibat gangguan ginjal akut misterius makin mengkhawatirkan. Hingga kemarin, ada 99 anak meninggal setelah terpapar penyakit yang belum diketahui penyebabnya itu.
Sebagai langkah antisipasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk sementara melarang penjualan obat sirup secara bebas.
Menurut data Kementerian Kesehatan yang diterima Jawa Pos kemarin (19/10), Jawa Barat menempati peringkat pertama dengan kasus kematian terbanyak. Yakni, 25 anak. Lalu, DKI Jakarta 21 anak. Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Aceh masing-masing 10 anak. Kematian juga terjadi di Bali, Jogjakarta, Banten, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, NTT, dan Papua Barat.
’’Jumlah kasus yang dilaporkan hingga 8 Oktober adalah 206 kasus dari 22 provinsi,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan M. Syahril. Di Jakarta ada sembilan anak yang dilaporkan sembuh dari penyakit itu. Sedangkan di Jawa Timur lima anak. Lalu, di Jawa Barat dan Banten masing-masing tiga anak.
Masih pada data yang sama, sekitar 45 persen pasien anak yang menderita penyakit tersebut memiliki gejala demam. Lalu, 49 persen mengalami gangguan berkemih. Gejala lainnya adalah infeksi saluran cerna dan ISPA. Namun, ada 20 persen anak yang belum teridentifikasi gejalanya. Pada pemeriksaan USG, bentuk dan ukuran ginjal normal. Tidak ada kelainan. Hanya, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kenaikan keratin. ’’Dari hasil pemeriksaan, tidak ada bukti hubungan kejadian gangguan ginjal akut misterius dengan vaksin Covid-19 maupun infeksi Covid-19,” tegas Syahril.
Hingga kemarin, Kemenkes bersama stakeholder terkait masih mencari penyebab penyakit tersebut. Senyawa dalam salah satu jenis obat juga masih diteliti. ’’Untuk kewaspadaan, Kemenkes meminta kepada seluruh nakes di faskes agar sementara ini tidak meresepkan obat dalam bentuk cair atau sirup sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas,” katanya. Penjualannya pun tak boleh bebas lagi.
Kebijakan itu diambil mengacu pada kejadian di Gambia, Afrika Barat. Anak-anak di negara tersebut juga diserang penyakit gangguan ginjal akut. Namun, di sana sudah dipastikan penyebabnya adalah senyawa yang terkandung dalam obat sirup dari Asia Selatan. Untungnya, obat sirup tersebut tidak beredar di Indonesia.
Lalu, bagaimana jika si kecil sakit? Syahril mengimbau orang tua untuk segera berkonsultasi dengan dokter. Terutama sebelum meminumkan obat dalam bentuk cair atau sirup. ’’Sebagai alternatif dapat gunakan tablet, kapsul, atau lainnya,” jelasnya.
Dia juga menyarankan, jika terjadi penurunan frekuensi buang air kecil atau sama sekali tidak keluar, harus segera melakukan pemeriksaan ke fasyankes. Selain itu, diharapkan membawa obat yang dikonsumsi sebelumnya.
Menurut surat Kemenkes yang ditujukan kepada pemda dan organisasi profesi kesehatan, ada 14 rumah sakit yang ditunjuk sebagai rujukan. Di rumah sakit rujukan itu terdapat layanan hemodialisis dan dokter spesialis ginjal anak. Rumah sakit itu, antara lain, RSUP dr Cipto Mangunkusumo, RSUD dr Soetomo, RSUP dr Kariadi Semarang, RSUP dr Sardjito, RSUP Prof Ngoerah, RSUP H Adam Malik, dan RSUD dr Saiful Anwar Malang.
’’Untuk menurunkan fatalitas, Kemenkes melalui RSCM telah membeli penawar yang didatangkan langsung dari luar negeri untuk diberikan ke pasien yang dirawat di seluruh rumah sakit di Indonesia,” kata Syahril.
Ditemui terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, penghentian obat sirup yang dilakukan Kemenkes merupakan bagian dari upaya pencegahan. ”Investigasi saat ini sedang berjalan. Saya kira perlu (penghentian obat-obatan tertentu, Red) sambil diadakan pengkajian lebih dalam,” ujarnya saat ditemui di sela acara High-level Intergovernmental Meeting on the Final Review of the Asian and Pacific Decade of Persons with Disabilities (HLIGM-FRPD) di Jakarta kemarin.
Dia juga memastikan bahwa obat sirup yang memicu gangguan ginjal akut di Afrika Barat tidak beredar di Indonesia. Meski demikian, dia meminta dilakukan penelusuran lebih dalam apakah ada obat lain yang memiliki kandungan sama dengan obat dari Asia Selatan tersebut. ”Kalau yang sekarang berada di Afrika Barat itu dipastikan tidak ada di Indonesia, cuma apakah mungkin ada jenis lain atau yang punya kandungan sama. Itu yang sedang dicari,” paparnya.
Kondisi saat ini dinilainya sudah mengkhawatirkan. Apalagi melihat jumlah kasus yang sudah mencapai 206 dengan kematian 99 pasien. Karena itu, dia mendorong Kemenkes dan BPOM segera melakukan langkah-langkah pencegahan.
Pada bagian lain, epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman menilai, keputusan Kemenkes untuk menghentikan penggunaan obat sirup sudah tepat untuk saat ini. Upaya itu dilakukan sebagai mitigasi awal dan respons awal sembari menunggu proses penyelidikan lebih lanjut.
Menurut dia, menyetop hal-hal yang bisa berpotensi mengakibatkan gagal ginjal akut perlu dilakukan. Apalagi, ada literatur yang mendukung. Misalnya, penggunaan beberapa obat, baik yang sifatnya antipiretik atau penurun demam maupun obat batuk yang mengandung diethylene glycol (DEG). ”Dihentikan sementara sampai ada kepastian bahwa ini terkait atau tidak atau obat yang ada saat ini aman atau tidak,” ungkapnya.
Kendati demikian, Dicky meminta kebijakan tersebut disertai dengan rekomendasi obat yang bisa dikonsumsi masyarakat ketika ada kasus batuk pilek. Pemerintah dan IDAI juga perlu kembali menyosialisasikan pola hidup sehat yang menjadi opsi paling aman untuk menghindari segala risiko infeksi penyakit. ”Tetap harus ada solusi, nggak plek berhenti. Harus ada solusi yang menenangkan,” tegasnya.
Menurut dia, kondisi gagal ginjal akut di Indonesia sudah tergolong kejadian luar biasa (KLB). Hal itu berdasar case fatality rate di beberapa daerah yang telah mencapai 50 persen. ”Tentu sangat logis dalam konteks Indonesia. Pertama, di tengah lemahnya deteksi dini dan kedua, terbatasnya sarana-prasarana,” ungkapnya.
Lemahnya deteksi dini sangat berpengaruh lantaran kasus tersebut termasuk emergency. Dengan begitu, jika telat terdeteksi, akan sulit tertolong. Lalu, sarana dan prasarana menyangkut hemodialisis. Keduanya diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat untuk deteksi dini kesehatan anak, behavior dalam melakukan pengobatan sendiri, hingga enggan ke faskes ketika sakit. ”Semua berkontribusi,” terangnya.
Adanya senyawa ethylene glycol (EG) dan DEG pada obat sirup itu menjadi atensi. Apalagi kejadian di Gambia, WHO menyebutkan ada empat jenis obat batuk dari India yang menjadi penyebab gangguan ginjal akut misterius. Obat tersebut menurut catatan BPOM tidak beredar di Indonesia.
Dalam regulasi persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak dan dewasa tidak boleh menggunakan EG dan DEG. Tapi, bisa saja EG dan DEG terdapat dalam cemaran larutan kimia gliserin atau propilen glikol yang biasa digunakan sebagai zat pelarut tambahan. BPOM meminta industri farmasi yang memiliki produk obat sirup untuk melapor. Terutama yang berpotensi ada cemaran EG dan DEG.
Sumber: www.jawapos.com