USD Jadi Safe Haven karena Tren Pengetatan Moneter dan Inflasi Tinggi

AED.OR.ID – Mata uang asing alias valuta asing (valas) memiliki likuiditas yang tinggi. Perubahan kurs secara tahunan juga cenderung menguat. Seiring meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global, menjadi menarik untuk dijadikan pilihan investasi.

INDEKS nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) atau USD terhadap mata uang utama (DXY) tercatat 112,98 pada 19 Oktober 2022. Angka tersebut menguat 18,10 persen secara year-to-date (YtD). Sementara itu, nilai tukar rupiah terdepresiasi 8,03 persen sepanjang 2022.

Read More

Meski demikian, rupiah relatif lebih baik ketimbang depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya. Misalnya, rupe India yang terdepresiasi 10,42 persen, ringgit Malaysia 11,75 persen, dan bath Thailand 12,55 persen terhadap USD.

Depresiasi tersebut, kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, sejalan dengan menguatnya USD dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara. Terutama AS untuk merespons tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global. Meski, persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia tetap positif.

”Kami akan terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya ke depan. Untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi,” ucap Perry.

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyebutkan, likuiditas valas di Indonesia terbatas. Padahal, tren neraca perdagangan sudah mengalami surplus 29 kali berturut-turut. Terakhir pada September 2022, neraca perdagangan Indonesia kembali surplus USD 4,99 miliar. ”Likuiditas valas terbatas, padahal trade balance besar. Satu hal ini memang agak berbeda dengan periode-periode yang lalu,” jelas Destry.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan, tren penguatan saat ini sudah lebih tinggi daripada return yang diberikan pasar saham yang hanya naik 3,5 persen YtD. USD juga menguat terhadap mata uang dari zona Eropa. Misalnya, poundsterling (GBP) maupun euro (EUR).

”Kalau terhadap poundsterling, penguatan USD sudah 16,3 persen YtD. Sedangkan dengan euro 13,7 persen YtD,” ucap Bhima kepada Jawa Pos.

Artinya, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk masuk ke pasar uang. Terutama berinvestasi di USD. Sejalan dengan tren pengetatan moneter dan inflasi yang masih tinggi ke depan. ’’Khususnya di zona Eropa, banyak yang mengincar USD sebagai safe haven,” imbuhnya.

Apalagi, likuiditas berbagai perusahaan juga menyimpan dalam bentuk USD. Artinya, mata uang Negeri Paman Sam saat ini diandalkan. Bahkan melebihi emas.

Retail Proposition Division Head Bank OCBC NISP Chinni Yanti Tjhin mengatakan, simpanan valas memiliki interest rate yang cukup menarik. Secara historical, tren nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya USD, cenderung menguat dalam 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, simpanan valas masih berpotensi sebagai investasi.

”Namun, jangan 100 persen. Jadi, 50 persen bisa dalam bentuk tabungan rupiah. Karena prinsip investasi aman, mudah diakses,” ungkapnya.

Ketika momentum mata uang asing sedang tinggi, lanjut dia, boleh dijual. Namun, prinsipnya dalam berinvestasi valas lebih baik jangan spekulasi. Oleh karena itu, perlu menyelaraskan dengan kebutuhan, menetapkan tujuan keuangan, dan melakukan evaluasi.

”Kalau kita membeli valas sesuai kebutuhan dan tujuan, saya rasa potensi tabungan valas sangat menarik. Membeli secara bertahap. Jangan dipelototi terus setiap hari,” jelasnya.

Editor : Mohamad Nur Asikin

Reporter : ARM, Agas Putra Hartanto



Sumber: www.jawapos.com

Related posts